Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim.
Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari
seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di
Tuban
Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia
berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga
Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat
toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu
sebabnya para wali --yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas
masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.
Cara Sunan Kudus mendekati
masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal
itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan
pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud
kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.
Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi
ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya
yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang
mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan
Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah
yang berarti "sapi betina". Sampai
sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih
sapi.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah
tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti
kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam
dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat
masyarakatnya.
Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan
Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan
Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata,
bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.
0 komentar:
Posting Komentar